Entah kebetulan atau suatu
keharusan garis kehidupan menyeret gue ke belantara Semarang. Ibu kota provinsi
Jawa tengah yang terkenal dengan lumpia dan wingko babatnya. Satu lagi,
Semarang gak kalah sama Jakarta, sama- sama panas, kipas angin di kostan selalu
on, dan gue mempunyai hobi baru, minum es. Letak geografis Semarang yang berada
dibawah permukaan laut menyebabkan sering terjadinya rop.
Bokap
& nyokap gue ngapak, mereka bersinergi, disilangkan lahirlah gue ngapak
kuadrat. Tapi sengapak-ngapaknya gue, gaya bicara gue gak seperti Kartika Putri
yang di pesbuker. Lidah gue bisa beradaptasi dengan kondisi sosial budaya
dimana gue tinggal. Diantara sekian juta manusia yang
tinggal di kota atlas, pertemuan gue dengan manusia berdarah ngapak selalu
meninggalkan kesan. Puluhan manusia yang berasal dari spesies ngapak banyak gue
jumpai di belantara semarang ini. Terkadang gue merasa ada chemistry setiap
kali bertemu dengan manusia berdarah ngapak.
Ini tentang mbak penjual kue
bandung. Gue heran kenapa martabak manis di Semarang dinamakan kue bandung?
Padahal di Bandung belum tentu namanya kue bandung. Iya gak? Kalau di Malang
martabak manis disebut terang bulan. Gue suka martabak manis karena gue dan
martabak manis memiliki persamaan yaitu sama – sama manis. Huahahahahaha
*ngakak sambil goyang itik
“Ni, kue bandung yang di pinggir
jalan raya itu enak lho..”
“Oh, ya…” gue sedikit gak
percaya. Sesampainya disana Tita duduk di kursi pelanggan yang telah
disediakan. Sedang gue berdiri disebelah kanan mbak penjual kue bandung,
memesan dan memperhatikan cara kerja mbak tersebut mulai dari membuat adonan,
sampai mengemasnya. Serasa ada chemistry gue talking dari hati ke hati sama
mbak tersebut. Seandainya mbak itu cowok jomblo unyu, gue pasti langsung fall
in love in first sight sama dia. Mata gue gak berkedip sedikit pun. Mbak
tersebut bercerita kalau dia sudah bersuami dan punya anak. Penampilannya yang
modis, polesan make up menipu gue, tadinya gue pikir mbaknya masih lajang. Itu
pertama kalinya gue bertemu & beli kue bandungnya tapi udah kaya tetangga
sendiri. Sampai akhirnya setelah ngobrol ngalor- ngidul, gue tahu mbaknya asli
Brebes. “Oalahh, ngapak juga tho?”. “Iya
mbak..Hehehehe..”gue nyengir dengan indahnya. Sejak saat itu gue jadi langganan
kue bandung sama mbaknya, apalagi kue bandungnya enak lho, kue bandung terenak
yang pernah gue makan di kota atlas ini.
Siang itu gue ditemani Garfield
“folding bike” kesayangan gue menyusuri jalan Tlogosari raya. Disepanjang jalan
banyak di jumpai pusat perbelanjaan dan pedagang emperan. Waktu itu yang gue
cari tukang jahit yang biasanya mangkal di pinggir jalan. Gue menghampiri
seorang bapak tukang jahit.
“Pak, minta tolong ganti
resleting tas & jeans ini” gue menunjukkan bagian tas & jeans gue yang
rusak secara berjamaah.
“Iya, tapi jadinya besok ya
soalnya ngantri” jawab si bapak.
“Ehm, kalau sorean bisa gak pak?”
gue menawar. Si bapak melihat tumpukan jahitannya, sepertinya mengira-ira
apakah dia sanggup memenuhi permintaan gue.
“Ya, tapi malam jam 8an ya..”
“Oh ya, makasih pak..” gue
berlalu meninggalkan si bapak tukang jahit.
Sore harinya Tita ngajakinn gue
shopping. Peribahasa yang cocok untuk anak kostan adalah bersenang- senang
dulu, susah kemudian. Shopping- shopping dulu, melarat kemudian. Setelah puas
shopping gue menghampiri bapak tukang jahit. Dengan balutan helm pink unyu gue
bertanya, “Pak, jahitannya udah?”
“Udah, ini..” Si bapak
menunjukkan tas & jeans yang sudah di jahit rapi.
“Berapa pak?” tanya gue
“13 ribu. Asli Purwokerto ya?”.
Gue deg-degan. “Please, jangan bilang muka gue mirip tempe mendoan” gue berdoa
dalam hati.
“Iya, kok tahu pak..” gue harap-
harap cemas
“Itu plat motornya R” jawab si
bapak. Diseberang jalan tampak Tita duduk manis di motornya lengkap dengan helm
ungunya.
“Lho, bapak asli mana?” tanya gue
penasaran
“Pemalang..”. Dalam hati gue,
“ngapak juga ternyata..”
“Makasih ya pak…”
Apalagi gue perhatikan jumlah
warteg begitu menjamur di Indonesia. Dari tiga sample warteg, prediksi gue 100%
benar bahwa warteg yang merupakan singkatan dari warung tegal itu yang punya
ngapak. Warteg pertama terletak lima belas langkah dari kostan. Inilah tempat
pertolongan pertama ketika gue lapar tingkat kecamatan. Pemilik dan semua
karyawannya ngapak. Warteg kedua, sesuai instruksi detective conan gue
mengamati dengan seksama mbak pemilik warteg waktu dia beli pulsa di counter
gak jauh dari kostan. Ya, ampun logatnya ngapak banget. Gak perlu kenalan juga
udah tahu bahwa dia berasal dari spesies ngapak. Warteg ketiga, gue gak sengaja
dengar mbak-mbaknya ngobrol pakai bahasa ngapak. Akhirnya gue berkesimpulan
beberapa tahun kedepan ngapak akan menjadi bahasa nasional kedua setelah bahasa
Indonesia.
Cerita lain, pada suatu malam
minggu gue JJM (jalan-jalan malam) tanpa tujuan. Mengurung diri dikamar buat
seorang jomblo hanya akan menambah depresi. Gue mengayuh “Garfield” folding
bike yang sangat gue sayangi dan gue banggakan menyusuri jalan tanpa tujuan. .
Sampailah gue di pertigaan jalan, gue menghampiri penjual molen, digerobaknya
tertera tulisan aneka molen. Ada rasa nanas, coklat, pisang, dll yang jelas gak
ada rasa cowok ganteng. “Mba, sepedanya jangan parkir
disitu? Itu buat jalan..”. Gue mengayuh sepeda dan meletakkanya di sebelah
kanan mas penjual molennya. Kali ini lebih dekat dengan si mas penjual molen.
Gue pun antri sampai satu per satu pembeli yang lebih dulu antri pergi. Tibalah
gue dipanggil sama pak dokter. Hahaha, gak..gak.. maksudnya penjual molen tadi.
“Mas, molennya sepuluh ribu campur
ya?”. Si mas penjual molennya mengangguk, tanda bahwa dia ngerti. “Mbaknya asli
semarang?”tanya mas penjual molen. Gue langsung deg- degan jangan- jangan muka
gue mirip mendoan sampai-sampai dia tahu gue bukan asli orang sini.
“Bukan.. Purwokerto mas..”jawab gue
harap- harap cemas. Gue berharap dia gak bisa menirukan gaya ngomong sok ngapak
seperti mas- mas yang gue jumpai di salon waktu nemenin mpo indun (temen kost
gue) smoothing. “Oohh…tahu purworejo gak?” mas penjual
molen mengambil beberapa molen dan menaruhnya di kertas.
“Tahu.. sampean asli situ mas?”
tanya gue
“Bukan, molen..!!!”
Mas
penjual molen menyerahkan sekantong
plastik, kita pun ngakak berjamaah.
“Hahahaha.. ya akulah masa molen..”
“Hahahaha… makasih ya mas..” Gue menerima
kantong plastik molen, menyerahkan uang sepuluh ribu dan berlalu meninggalkan
mas penjualan molen.
Begitu banyak ngapakers yang gue
jumpai, mulai dari tukang siomay yang biasanya lewat depan kostan. Sampai pak
Jarot seorang accounting yang bekerja di harian suara merdeka.
“Ibu asli Banjar negara, bapak
juga asli Banjar negara. Bapak dapat kerjanya disini sih makannya tinggalnya
disini” istri pak jarot menjelaskan asal- usulnya. Gue pernah ditawarin kerja
di warnetnya.
Ngapakers yang baru- baru ini gue
jumpai itu pak Agus, bapak yang menyewakan sepatu roda di simpang lima. Siapa
sih yang gak tahu simpang lima? Sebenarnya gue jarang maen ke simpang. Ada
beberapa alasan kenapa gue jarang maen kesimpang, salah satunya karena gue itu
masih jomblo jadi gak ada pacar yang ngajakin *nyesek. Sebagian golongan remaja
menjadikanya sebagai tempat pacaran. Ya, begitulah adanya, jaman sekarang
memang jarang sekali anak muda yang menerapkan gaya pacaran yang sopan dan
terdidik. Sedikit sekali yang bisa menghormati dan menghargai perasaan kaum
tuna asmara seperti gue. Gue cuma bisa melirik sinis kalau ada muda- mudi
pacaran gak sopan. *jomblo
Pertama kali ke simpang waktu gue
menjalani ritual sebagai new comer di kota atlas ini. Diajak jalan- jalan sama
Tita, ini lho semarang, ini lho simpang lima, ini lho cowok ganteng *Lho. Tita
bak ibu guru geografi memaparkan dengan detail kondisi fisik kota atlas mulai
dari letak astronomis, kondisi geografis dan keadaan sosial budayanya. Bahkan
hal yang gak terlalu penting pun gue pelajari dari Tita. Dia udah kaya search
engine buat gue. Dialah orang pertama yang gue tanyain kalau ada hal- hal yang
gue gak ngerti, dia jugalah orang yang sering gue repotin selama gue menghirup
nafas di kota ini. Kasihan banget nasibnya.
“Ni, bau cowok ganteng ya?”
“Masa sih?” Gue mendengus kaya
kucing unyu lagi nyari kucing ganteng. “Oooh…” jawab gue.
“Tuh kan bau cowok ganteng” Tita
menegaskan.
Gue diam, dibalik kata “Oooh…”
sebenernya gue itu bingung karena yang dari tadi yang gue cium itu bau gas
karbon monoksida yang dihasilkan knalpot motor yang dari tadi lewat di jalan
raya. Sesuai dengan jam yang telah disepakati, sampailah gue & Tita di
simpang lima. Malam itu kita janjian mau dugem (duduk-duduk gembira) bareng sama
pak Aris (orang audit Surabaya)di simpang lima. Beberapa bulan sekali beliau ke
semrang untuk mengaudit cabang perusahaan yang di semarang.
“Pak Aris udah nyampe mana?”
tanya gue ke Tita
“Katanya sih tadi masih di hotel” Tita menjawab.
Tiba- tiba terdengar suara hape
berdering. Tita mengambil hape di tasnya. “Haloo….”
“Iya, dari hotel pak Aris belok
kiri terus…bla bla bla” Tita menjelaskan. Gue langsung tebak kalau itu
telponnya dari pak Aris.
“Ayo, kita muter dulu yuk..”
dengan nada sedikit nada kesal Tita menutup hape dan menaruhnya di tas. Pak
Aris datang terlambat.
“Yuk…” jawab gue. Duduk manis di
simpang lima itu sudah terlalu mainstream. Baru beberapa langkah berjalan, “Ni,
katanya kamu pengen maen sepatu roda?”. Gue memandangi sekeliling, banyak
berjajar rapi sepatu roda, skuter, sepeda yang disewakan. “Pengen sih,,” belum
sempat gue meneruskan kata- kata, seorang bapak berambut ikal menghalangi
langkah kita. “Eh, ada mba- mba cantik, mau nyobain sepatu roda?”. Si bapak
menyeret tangan dan menyuruh kita duduk disamping sepatu roda yang berjejer
rapi .
“Pak, ini satu jamnya 15ribu ya?”
seru Tita. Tita udah lama tinggal di Semarang jadi wajar kalau dia tahu harga
pasaran sewa sepatu roda di simpang lima. Nama bapak itu pak Agus, dan gak ada
alasan buat gue untuk menolak apalagi setelah gue tahu ternyata dia berdarah
ngapak juga sama seperti gue. Pak Agus memanggil satu lagi temannya untuk
mengajari Tita, sedang gue diajarin pak Agus langsung. Jadi selama belajar
sepatu roda bahasa yang gue gunakan campur sari banget. Gue sama sekali gak
malu menggunakan bahasa kebanggan gue itu. Bahkan jika kelas gue bersuami
seorang bule asal finlandia pun gue akan selalu ingat bahasa ibu, tempat dimana
gue dilahirkan dan di besarkan. Entah untuk keberapa kalinya gue bertemu dengan
orang yang berasal spesies ngapak di belantara Semarang ini.
“Arep nganggo sing licin apa
pemula?” tanya pak Agus.
“Pemula bae lah pak..”jawab gue
dengan logat ngapak juga. Pak Agus mencari sepatu roda yang cocok buat gue dan
memasangkanya di kaki gue. Gue dipaksa berdiri sama pak Agus.
“Pak, nyong wedi..” gue teriak-
teriak histeris kaya orang mau diperkosa.
“Ora usah wedi, nyong tanggung
jawab. Dijamin sejam wis langsung bisa” pak Agus meyakinkan. Lima menit
kemudian pak Agus menghilang entah kemana.
“Kepriwe sih pak? Jarene tanggung
jawab” gue menggerutu dalam hati. Ntar kalau gue hamil siapa yang tanggung
jawab? Eh, salah maksudnya kalau jatuh gimana? Gue tetap semangat belajar
sepatu roda sendirian.
Prakk…!! gue jatuh. “Aduhh..”gue
mengerang kesakitan.
“Mbak, nek gak iso ganti wae?”
seorang anak kecil yang lagi maen skuter nyamperin gue.
“Opone seng diganti?”. Anak kecil
itu gak jawab, malah pergi ninggalin gue sambil ketawa- ketiwi gak sopan. Gue
berusaha berdiri, melihat sekeliling. Untung gak ada satu pun yang gue kenal.
Dari kejauhan gue lihat Tita masih belajar sama mas- masnya. Gue mencari- cari
pak Agus. Eh, si bapak malah lagi makan sambil baca koran. Ternyata pak Agus
melihat gue jatuh, dari kejauhan dia memberi isyarat menyuruh gue untuk
berdiri. Gue berdiri, terus berjuang belajar sepatu roda seorang diri. Anak
kecil yang tadi nyamperin gue, malah ketagihan nggodain gue. Seolah dia
berharap gue jatuh, dan dia bisa ngakak sepuasnya.
“Mbak, nek gak iso ganti wae?”
“Opone seng diganti?” dari tadi gue
masih bingung. Anak kecil itu gak jawab masih tetap ketawa- ketiwi ngeliatin
gue.
“Eh, kowe iku ojo nakal..”. Anak
kecil itu terus mengganggu gue.
“Sopo seng nakal mba?”
“Kamu pasti masih SD ya? Sekolahmu
nang ndi? Sesuk tak parani lho..” dengan nada sedikit mengancam kaya preman
pasar johar.
“SMP mba. SMP An Nur Pedurungan
situ. Tahu gak mbak? Mbake rumahnya dimana?”
“Mau tahu aja, atau mau tahu
banget?”
“Ih gitu..” anak kecil itu agak
sedikit kecewa.
Malam itu gue sama Tita di godain
sama anak kecil ingusan itu. Belum sempat gue mengadakan upacara pengangkatan
dia sebagai adik gue, dia sudah menghilang di telan bumi. Selepas kepergian anak kecil itu,
sekelompok mas- mas SKSD menghampiri gue dan Tita. “Tita..Tita…!!!” Gue teriak- teriak,
menyemangati Tita yang lagi asyik maen sepatu roda. Sekelompok mas- mas itu
ternyata sedang menjalani diklat di BPIP semarang, semacam diklat pelayaran
gitu. Ternyata banyak yang ngapak juga lho. Ada yang dari pemalang sama purbalingga.
Gue belajar dari mereka gimana cara maen sepatu roda.
“Ngesuk tanggal 16 juni bocah undip
arep pada ngumpul nang kene..” pak agus memberitahu.
“Oohh…” gue mengangguk.
“Jangan-jangan pak Agus punya perkumpulan organisasi ngapak ya?” pikir gue dalam
hati
“Ngesuk ngeneh maning ya? Nek kowe
nggawa kanca lima, nko gratis”.
“Iya..” gue cukup mengiyakan
“Pak, njajal praktek pak maen sepatu
roda” seru Tita. Pak Agus gelagapan,
“Ya, emohlah nko kencot…” pak agus mencari alasan.
“Ngomong bae ora teyeng mbok..” jawab
gue serempak sama Tita
“Hehehhehe..” pak Agus nyengir kuda .
Kita ngakak berjamaah. Serasa malam itu adalah malam perayaan hari ngapak sedunia.
Kita ngakak berjamaah. Serasa malam itu adalah malam perayaan hari ngapak sedunia.